Semangat Berkurban untuk Menggapai Impian
Oleh : Paulus dan Linda Rahardjo
Mewarisi semangat untuk bemimpi
Saya mulanya tidak sepaham dengan Linda, ketika dia punya ide untuk menciptakan kesempatan untuk anak-anak kami bersekolah tinggi di luar negeri. Saya baru bisa menerima ketika saya tahu bahwa Linda mewarisi semangat ibunya. Keluarganya bukan termasuk orang kaya, terutama ketika bisnis mereka kandas karena digelapkan oleh orang-orang yang berhati jahat. Satu masa kelam dalam sejarah hidup keluarga ini ketika mereka hanya mampu untuk belikan Linda dua helai rok yg dipakai bergantian selama setahun, merah muda dan ungu. Makanan mereka sederhana, bubur putih kadang-kadang dengan potongan telur asin. Ibu tidak selalu dapat lauk sekalipun sederhana itu. Tetapi dalam keadaan "miskin" secara fisik, mereka "kaya" dalam harapan. Mereka punya mimpi besar untuk menyekolahkan anak-anak di luar negeri.
Keluarga ini adalah keluarga yang selalu berpandangan positif. Impian merka memicu kerja keras. Impian itu membuat mereka tidak merasa pahit dengan kondisi sesaat, karena mereka tahu akan ada hari yang lebih baik. Anak-anak mereka hidup tanpa merasa bahwa mereka miskin. Ayah dan ibunya tidak pernah mengatakan mereka miskin. Ketika anak-anak punya kebutuhan, mereka mengatakan, "Sabar, akan kami usahakan."
Mimpi, kurban dan usaha
Sejak pertengahan tahun-tahun 1960an, ibu mulai menabung dalam mata uang dolar Amerika. Kebiasaan yang jarang terdengar di masa itu, karena menyimpan rupiah dan dolar sama saja karena nilai kursnya dipatok oleh pemerintah dan nilainya sama terus. Kalau begitu mengapa mereka menabung dalam mata uang dolar Amerika? Karena mereka sedang mendaki mimpi masa depan. Angin keberuntungan menghembusi keluarga ini. Sistem moneter di Indonesia berubah. Nilai dolar melonjak lepas dari kendali Pemerintah. Hal ini melonjakan bisnis mereka. Dan akhirnya upaya mereka mewujudkan impian keluarga. Tiga orang anak berhasil disekolahkan di luar negeri. Tentu ada saja orang atau keluarga yang membantu mereka mewujutkan mimpi ini. Dan untuk itu mereka sangat berterima kasih.
Ketika saya menikahi Linda, saya juga menikahi semangat ini. Perlu waktu bagi saya untuk ikut dalam mimpinya. Linda tidak pedulikan kondisi ini. Dia mulai berkurban, menabung, berkurban lagi. Linda juga sangat efektif mengomunikasikan visi ini kepada anak-anak kami. Anak-anak belajar hidup terbatas untuk masa depan. Kami tidur tanpa pendingin ruangan. Kalau kepanasan, tidak perlu mengeluh, mandi saja. Jadi tidak jarang saya mendengar suara deburan air di kamar mandi pada jam sepuluh malam, karena anak-anak mendinginkan badan sebelum tidur.
Untuk hiburan, kami tidak ke mall, tetapi mencari tempat hiburan yang tidak harus membayar. Karena saya bekerja paruh waktu untuk Surabaya International School, maka kami memanfaatkannya dengan membawa mereka ke kompleks sekolah untuk bermain dalam taman bermain sekolah di luar jam-jam sekolah.
Tommy jalan kaki ke sekolah di masa SMP. Kris memilih naik kendaraan umum. Kalau bisa Linda akan minta salah satu karyawan toko komputernya untuk mengantar dan menjemput mereka dengan sepeda motor. Dan dia sendiri tidak segan-segan naik kendaraan umum bila dibutuhkan. Untuk impian keluarga, seluruh keluarga mau berkurban.
Menabung dan menabung lagi. Karena kami sedang mengejar impian. Ketika saya mulai diundang mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah atau mengajar di luar negeri ada saja sponsor yang membayari biaya perjalanan dan akomodasi hotelnya. Saya sering mengajak Linda untuk pergi bersama saya. Tapi dia tidak pernah mau. Biayanya ada, tapi prioritasnya tidak di sana. Jumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk biaya fiskal dan tiket pesawat udara serta uang saku, langsung “dibekukan” sebagai tabungan. Tidak dapat “dikeluarkan” lagi.
Sejak pulang dari Canada tahun 1984, Linda menepati janjinya pada keluarga dan diri sendiri, dia tidak mau mengeluarkan uang "besar" (maupun uang "kecil") sebelum cita-citanya tercapai. Selama 23 tahun dia "duduk manis di rumah" – berhemat dan tidak mau keluar negeri. Hanya satu kali kami sekeluarga pergi ke Singapore khusus untuk melatih kedua anak kami untuk hidup mandiri di luar negeri. Mereka perlu belajar bagaimana mengurus surat-surat yang terkait dengan perjalanan lintas negara. Mereka perlu dilatih dalam melakoni tatacara travel antar negara dengan pesawat terbang, terutama karena kami tahu bahwa kami tidak punya anggaran untuk mengantarkan mereka ke tempat sekolahnya di luar negeri nanti. Kepergian kali ini dihitung sebagai upaya penghematan untuk masa depan.
Impian yang direspons TUHAN
Disiplin keuangan ini akhirnya mengasilkan buah. Pada tanggal 17 Agustus 2007, Tommy memegang tiket untuk ke Toronto lewat Juanda International Airport. Dia akan belajar “Creative Advertising” di sebuah program Diploma di “college” negeri di Toronto. Seputar tanggal itu saya mendapat undangan untuk travel gratis ke Phuket, Thailand, untuk menghadiri pertemuan ilmiah. Sekali lagi saya mengajak Linda dan Kris untuk berlibur. Kali ini Linda menimbang untuk ikut. Tapi ada satu masalah. Bagaimana kalau tanggal berangkatnya sebelum tanggal berangkat Tommy? Berarti Tommy akan berangkat dari rumah ke airport sendirian, karena kami semua mendahuluinya pergi. Tidak mungkin kan? Tapi oleh anugerah Tuhan jadwal perjalanan dapat diatur sempurna. Kami bisa berangkat ke luar negeri pada tanggal yang sama dengan keberangkatan Tommy. Hanya jamnya yang berbeda. Tommy terjadwal untuk lepas landas jam delapan pagi dengan Cathay Pasific, sedangkan kami dua jam setelahnya dengan Garuda. Dengan demikian kami bisa masuk ke ruang keberangkatan luar negeri bersama-sama. Kami bisa membimbing Tommy untuk mengisi fomulir keimigrasian, mengurus urusan pembebasan biaya fiskal, dan membayar airport tax serta check in di konter Cathay Pasific.
Tapi semua terjadi bukan tanpa masalah. Koper bekas pakai yang menjadi andalan Tommy untuk membawa barang kebutuhannya, tiba-tiba terbuka dan tidak dapat dikunci lagi. Rusak! Tommy tampak sangat pucat karena kejadian yang tak terduga ini. Belum lagi perasaannya yang bercampur antara sedih dan tegang karena hidupnya tidak akan sama lagi. Sangat beruntung kami ada untuk membantunya. Paling tidak kami lebih berpengalaman menghadapi kecelakaan hidup. Saya bawa koper itu ke tempat “mengikat” koper khusus untuk penumpang Garuda- walaupun Tommy tidak “naik” Garuda, tapi kami adalah penunpang Garuda. Setelah terikat dari luar, kami membawa koper tersebut untuk dibungkus plastik dengan membayar beberapa ribu Rupiah. Beres.
Kepergian kami ke Phuket sedikit menghibur kami bertiga, terutama karena sekali lagi kami tahu TUHAN sudah mengatur semuanya untuk kebaikan kami. Semangat kami berkurban untuk menggapai impian direspons TUHAN. DIA tidak pernah meninggalkan kami.